Mengenal Tambang
bawah Tanah
Pemanfaatan
secara ekonomis potensi cadangan batubara disebut dengan penambangan batubara,
yang terbagi menjadi penambangan terbuka (surface mining atau open
cut mining) dan penambangan bawah tanah atau tambang dalam (underground
mining).
Bila
terdapat singkapan batubara (outcrop) di permukaan tanah pada suatu
lahan yang akan ditambang, maka metode penambangan yang akan dilakukan, yaitu
metode terbuka atau bawah tanah, ditetapkan berdasarkan perhitungan tertentu
yang disebut dengan nisbah pengupasan (Stripping Ratio, SR). Nisbah ini
merupakan indikator tingkat ekonomis suatu kegiatan penambangan.
SR = {(Biaya
Tambang Dalam) – (Biaya Tambang Terbuka)} / Biaya Pengupasan
Pada
perhitungan SR di atas, biaya tambang dalam adalah biaya per batubara bersih (clean
coal) dalam ton, sedangkan untuk biaya tambang terbuka adalah biaya per
batubara bersih dalam ton dan biaya relamasi, tapi tidak termasuk biaya
pengupasan tanah penutup (overburden). Sedangkan biaya pengupasan adalah
biaya pengupasan tanah penutup, dalam m3.
Sebagai
contoh, bila dari studi kelayakan (feasibility study) ternyata diketahui
bahwa biaya tambang dalam pada suatu lahan yang akan ditambang adalah US$150,
biaya tambang terbuka adalah US$50, dan biaya pengupasan adalah US$10, maka
nisbah pengupasan atau SR adalah 10. Dari gambar 1 di atas terlihat bahwa
sampai dengan posisi tertentu yang merupakan batas SR, penambangan terbuka
lebih menguntungkan untuk dilakukan. Sedangkan lewat batas tersebut,
penambangan akan lebih ekonomis bila dilakukan dengan menggunakan metode
tambang dalam.
Selain
perhitungan di atas, kondisi lain yang mengakibatkan penambangan bawah tanah
harus dilakukan adalah:
1. Posisi
lapisan batubara berada di bawah laut.
Contohnya adalah tambang batubara Mitsui Miike Jepang, yang bagian terdalam lapangan penggaliannya sekitar 850 m di bawah permukaan laut. Tambang terbesar di Jepang ini tutup pada tanggal 30 Maret 1997, setelah beroperasi selama 124 tahun.
Contohnya adalah tambang batubara Mitsui Miike Jepang, yang bagian terdalam lapangan penggaliannya sekitar 850 m di bawah permukaan laut. Tambang terbesar di Jepang ini tutup pada tanggal 30 Maret 1997, setelah beroperasi selama 124 tahun.
2. Posisi
batubara terletak jauh di kedalaman tanah.
Contohnya adalah tambang dalam PT Kitadin Embalut dan PT Fajar Bumi Sakti di Kalimantan Timur.
Contohnya adalah tambang dalam PT Kitadin Embalut dan PT Fajar Bumi Sakti di Kalimantan Timur.
Meskipun
perhitungan kelayakan ekonomis di atas merupakan faktor utama untuk menentukan
metode penambangan, hal – hal lain yang juga menjadi faktor pertimbangan
diantaranya adalah kondisi sosial calon lokasi tambang, masalah lingkungan
hidup, dan status hukum lokasi yang akan ditambang. Hal inilah yang menyebabkan
baik tambang terbuka maupun tambang dalam memiliki kelebihan dan kekurangannya
masing – masing.
Pada tambang
terbuka misalnya, meskipun investasinya lebih kecil dan memiliki tingkat
keterambilan batubara (recovery) di atas 90%, tapi kurang bersahabat
dari segi lingkungan dan terkadang menimbulkan gesekan dengan masyarakat
sekitar terkait polusi debu maupun masalah kepemilikan lahan.
Sebaliknya
untuk tambang dalam, meskipun masalah sosial maupun kerusakan lingkungan
relatif dapat dihindari, tapi kekurangannya adalah investasi awal yang besar,
dan tingkat keterambilan batubara yang tidak setinggi pada tambang terbuka.
Dengan mengemukanya isu kelestarian lingkungan dewasa ini, tambang dalam
merupakan satu-satunya pilihan pada penambangan batubara yang cadangannya
tersimpan di lokasi hutan lindung misalnya.
Teknologi
Tambang Dalam
Pada
prinsipnya, penambangan batubara dengan menggunakan metode tambang dalam
memerlukan 3 persyaratan teknis yang mutlak harus dipenuhi, yaitu
1. Pemahaman
secara menyeluruh terhadap kondisi alam di lokasi yang akan ditambang.
2. Teknologi penambangan yang sesuai dengan kondisi lapangan penggalian, aman, ekonomis, dan menghasilkan tingkat keterambilan batubara yang tinggi.
3. Sumber daya manusia yang handal.
2. Teknologi penambangan yang sesuai dengan kondisi lapangan penggalian, aman, ekonomis, dan menghasilkan tingkat keterambilan batubara yang tinggi.
3. Sumber daya manusia yang handal.
Ketiga hal
diatas mudahnya disingkat dengan alam, teknologi, dan manusia.
Data geologi
yang cukup mengenai kondisi tersimpannya batubara seperti kedalaman lapisan,
jumlah lapisan, tebal lapisan, kemiringan lapisan (dip) dan arahnya (strike),
jumlah cadangan, dan data pendukung lainnya seperti formasi batuan, kemudian
ada tidaknya patahan (fault) atau lipatan (fold), akan sangat
membantu untuk menentukan metode pembukaan tambang, metode pengambilan batubara
(extraction), penggalian maju (excavation/development),
transportasi baik material maupun batubara, penyanggaan (support),
ventilasi, drainase, dan lain – lain.
Khususnya
untuk menangani permasalahan gas berbahaya (hazardous gases) seperti CO
dan gas mudah nyala (combustible gas) seperti metana yang muncul di
tambang dalam, perencanaan sistem ventilasi yang baik merupakan hal mutlak yang
harus dilakukan. Selain untuk mengencerkan dan menyingkirkan gas – gas
tersebut, tujuan lain dari ventilasi adalah untuk menyediakan udara segar yang
cukup bagi para pekerja tambang, dan untuk memperbaiki kondisi lingkungan kerja
yang panas di dalam tambang akibat panas bumi, panas oksidasi, dll.
Dengan
memperhatikan ketiga tujuan di atas, maka volume ventilasi (jumlah angin) yang
cukup harus diperhitungkan dalam perencanaan ventilasi. Secara ideal, jumlah
angin yang cukup tersebut hendaknya terbagi secara merata untuk lapangan
penggalian (working face), lokasi penggalian maju (excavation/development),
serta ruangan mesin dan listrik
Jumlah angin
yang terlalu kecil akan menyebabkan gas – gas mudah terkumpul sehingga konsentrasinya
meningkat, jumlah pasokan oksigen berkurang, dan lingkungan kerja menjadi tidak
nyaman. Sebaliknya, bila volume anginnya terlalu besar, maka hal ini dapat
menimbulkan masalah serius pula yaitu swabakar batubara (spontaneous
combustion).
Swabakar
batubara terjadi akibat proses oksidasi batubara. Dalam kondisi normal,
batubara akan menyerap oksigen di udara dan menimbulkan proses oksidasi
perlahan, sehingga terjadi panas oksidasi. Karena nilai konduktivitas panas
batubara adalah 1/4 dari konduktivitas panas batuan, maka panas oksidasi sulit
berpindah ke batuan di sekitarnya, sehingga akan terus terakumulasi di dalam
batubara secara perlahan. Bila sistem ventilasi yang baik untuk menangani hal
ini tidak dilakukan, maka suhunya akan terus meningkat sehingga dapat mencapai
titik nyala, dan akhirnya menimbulkan kebakaran.
Adapun
berdasarkan teknik pengambilan batubaranya, metode tambang dalam secara umum
terbagi dua, yaitu Room & Pillar (RP) dan Long Wall (LW).
Room &
Pillar Mining
Pada metode penambangan
RP, batubara diekstraksi dengan meninggalkan pilar yang difungsikan sebagai
penyangga ruang kosong (room) pada lapisan batubara di dalam tanah.
Ruang kosong itu sendiri terbentuk sebagai akibat terambilnya batubara pada
lapisan yang bersangkutan. Adapun ukuran pilar ditentukan dengan menghitung
kekuatan batuan atap, lantai serta karakteristik lapisan batubara, yang dalam
hal ini adalah tingkat kekuatan/kekerasannya.
Pada
praktiknya, area yang akan ditambang dibagi terlebih dulu ke dalam bagian –
bagian yang disebut panel, dimana pengambilan batubara dilakukan di dalamnya.
Sebagaimana terlihat pada gambar 3 di bawah, barrier pillar berfungsi
untuk memisahkan panel – panel penambangan, sedangkan panel pillar berfungsi
untuk menahan ruang kosong pada panel saja. Dengan demikian, meskipun masih
terdapat resiko runtuhan atap pada suatu panel, tapi keberadaan barrier pillar
akan memberikan jaminan keamanan melalui penyanggaan area tambang secara
keseluruhan.
RP adalah
metode penambangan yang sederhana dan tidak memerlukan biaya yang besar. Akan
tetapi, cara ini hanya akan menghasilkan recovery batubara yang rendah,
umumnya maksimal 60%, disamping memerlukan kondisi lapisan batubara yang landai
(flat) dan relatif tebal. Selain itu, RP hanya bisa diterapkan pada
penambangan lapisan batubara yang dekat dengan permukaan tanah karena tekanan
batuannya belum begitu besar. Seiring makin dalamnya lokasi penambangan berarti
tekanan batuan akan membesar, serta potensi emisi gas dan keluarnya air tanah
akan bertambah. Pada kondisi demikian, RP sudah tidak layak lagi untuk
dilakukan sehingga diperlukan metode lain yang lebih aman dan ekonomis, yaitu Long
Wall.
Long Wall
Mining
Pada metode
ini, penambangan dilakukan setelah terlebih dulu membuat 2 buah lorong
penggalian pada suatu blok lapisan batubara. Lorong yang satu terhubung dengan
lorong peranginan utama (main shaft in-take), berfungsi untuk
menyalurkan udara segar serta untuk pengangkutan batubara. Lorong ini sebut
dengan main gate. Sedangkan lorong satunya lagi yang disebut dengan tail
gate terhubung dengan lorong pembuangan utama (main shaft
out-take/exhaust), berfungsi untuk menyalurkan udara kotor keluar tambang
serta untuk pengangkutan material ke lapangan penggalian (working face).
Udara kotor yang dimaksud disini adalah udara yang telah melewati lapangan
penggalian, sehingga telah tercampur dengan debu batubara dan gas – gas seperti
metana, karbondioksida, CO, atau gas yang lain tergantung dari kondisi geologi
di lokasi tersebut.
Pada gambar
5 di bawah, udara bersih ditunjukkan dengan panah warna biru, sedangkan udara
kotor dengan panah warna merah.
Bila
ditinjau dari arah kemajuan lapangan (working face), maka terdapat 2
metode pada LW, yaitu advancing LW (LW maju) dan retreating LW
(LW mundur).
Pada
advancing LW, penggalian maju untuk main gate dan tail gate
dilakukan bersamaan dengan penambangan batubara, seperti ditunjukkan oleh
gambar di bawah ini.
Berdasarkan
skema penggalian di atas, maka seiring dengan majunya kedua lorong serta
lapangan penggalian, terlihat bahwa lokasi yang batubaranya telah diambil akan
meninggalkan ruang yang terisi dengan batuan atap yang telah diambrukkan. Bekas
lapangan penggalian itu disebut dengan gob. Pada metode ini, pekerjaan
penting yang harus dilakukan adalah menjaga agar main gate dan tail
gate tetap tersekat dengan sempurna terhadap gob sehingga sistem
peranginan atau ventilasi dapat berjalan dengan baik.
Kelebihan
metode ini adalah produksi dapat segera dilakukan bersamaan dengan penggalian
lorong main gate dan tail gate. Namun seiring dengan semakin
majunya penggalian, maintenance kedua lorong menjadi semakin sulit
dilakukan karena tekanan lingkungan yang bertambah akibat keberadaan gob
yang meluas. Selain membawa resiko ambrukan, tekanan batuan tersebut juga akan
menyebabkan dinding lorong yang merupakan sekat antara kedua lorong dengan gob
menjadi mudah retak dan rusak sehingga angin dapat mengalir masuk ke dalam
gob. Karena di gob juga terdapat banyak serpihan atau bongkahan
batubara yang tersisa, maka masuknya angin ke lokasi ini secara otomatis akan
meningkatkan potensi swabakar. Disamping itu, kelemahan metode LW maju yang
lain adalah rentan terhadap fenomena geologi yang tidak menguntungkan yang
muncul di dalam tambang, misalnya patahan atau batubara menghilang (wash out).
Tidak sedikit penggalian LW maju terpaksa harus terhenti dan pindah ke lokasi
lain dikarenakan faktor geologi tadi.
Agar
penambangan menjadi lebih efektif, aman, dan ekonomis, maka pada LW diterapkan
metode mundur atau retreating.
Pada LW
mundur, main gate dan tail gate dibuat terlebih dulu pada blok
lapisan batubara yang ingin ditambang, dengan panjang lorong dan lebar area
penggalian ditentukan berdasarkan kondisi geologi serta teknik penambangan yang
sesuai di lokasi tersebut
Penambangan
dapat dilakukan dengan menggunakan kombinasi penyangga besi (steel prop)
dan link bar untuk menopang atap lapangan, serta coal pick untuk
ekstraksi batubara. Sedangkan kereta tambang (mine car) digunakan
sebagai alat transportasi batubara.
Untuk lebih
meningkatkan efisiensi penambangan, mekanisasi tambang dalam secara menyeluruh
atau sebagian (semi mekanisasi) dapat dilakukan dengan terlebih dulu
memperhatikan kondisi geologi dan perencanaan penambangan secara jangka
panjang. Mekanisasi pada lapangan penggalian misalnya melalui kombinasi
penggunaan drum cutter dan penyangga berjalan (self-advancing support),
sedangkan pada fasilitas transportasi batubara misalnya dengan menggunakan belt
conveyor.
Apabila
kegiatan penggalian batubara di suatu blok sudah selesai, maka safety pillar
akan disisakan untuk menjamin keamanan tambang dari bahaya ambrukan. Pada saat
itu, tail gate dan main gate harus disekat (sealing)
sempurna untuk mencegah masuknya aliran udara segar sehingga proses oksidasi
batubara pada gob terhenti. Di dalam lokasi yang telah disekat, kadar
gas metana akan terus bertambah, sedangkan oksigen akan menurun.
Dibandingkan
dengan LW maju yang dapat segera berproduksi, diperlukan waktu yang lebih lama
dan biaya material yang mencukupi pada LW mundur untuk persiapan lapangan
penggaliannya. Meskipun demikian, dengan maintenance lorong dan pengaturan
sistem ventilasi yang relatif mudah menyebabkan LW mundur lebih aman dari
resiko ambrukan dan swabakar. Selain itu, kondisi geologi yang akan dihadapi
saat penggalian di lapangan nantinya dapat diprediksi lebih dulu ketika
dilakukan penggalian lorong dalam rangka persiapan lapangan. Dengan demikian,
langkah antisipasi untuk mengatasi fenomena geologi yang tidak menguntungkan
yang mungkin timbul pada saat penambangan dapat diperhitungkan dengan baik.
Penutup
Tambang
dalam adalah salah satu jawaban terhadap seruan pemerintah mengenai penambangan
berwawasan konservasi. Namun, alangkah jauh baik bila tambang dalam tidak hanya
dilihat dari sudut pandang sebagai upaya untuk menghabiskan cadangan yang
tersisa dari aktivitas open cut mining saja.
Banyak dari
kita mungkin pernah mendengar nama – nama Mitsui, Mitsubishi, atau Sumitomo,
yang merupakan perusahaan – perusahaan raksasa asal Jepang. Namun, mungkin
segelintir saja yang mengetahui bahwa membesar dan mengguritanya kerajaan
bisnis ketiganya karena dipicu oleh keterlibatan mereka dalam usaha
pertambangan batubara di Jepang.
Disini
penulis akan mengetengahkan sebagian catatan tentang Mitsui, yang diambil dari
sumber di internet maupun perbincangan dengan eks karyawan Mitsui Mining yang
penulis kenal.
Tepat 3
tahun setelah tambang batubara Miike yang terletak di pulau Kyushu secara resmi
dikelola oleh pemerintahan Meiji pada tahun 1873, Mitsui Bussan berdiri pada
tahun 1876 dengan bisnis utamanya yaitu menangani transportasi dan penjualan
batubara dari tambang tersebut. Ketika pemerintah melakukan privatisasi atas
tambang terbesar di Jepang itu, grup Mitsui akhirnya berhasil menjadi
pemiliknya.
Dalam
perjalanannya, grup Mitsui mendirikan anak perusahaan bernama Mitsui Mining
untuk mengelola tambang – tambang yang berada di bawah kepemilikan mereka. Di
Jepang, sebagian besar tambang batubara adalah tambang bawah tanah, bahkan
sebagian di antaranya terletak di bawah laut seperti tambang Miike. Meskipun
pada awalnya Mitsui menggunakan peralatan yang dimpor dari Amerika atau Eropa,
mereka perlahan – lahan mengembangkan sendiri teknologi permesinan dan
kelistrikan untuk tambang dalam, sehingga lahirlah Mitsui Miike Machinery yang
terkenal dengan produk steel prop dan self-advancing support yang
handal. Teknologi penyanggaan tambang dalam dari Mitsui ini sekarang
dikembangkan di Australia.
Selain itu,
keberadaan batubara kokas di tambang Miike membuat Mitsui Mining juga
mengembangkan kontrol kualitas untuk kokas bagi keperluan industri baja.
Penguasaan teknologi kokas inilah yang menjadi salah satu kunci kemajuan
industri baja Jepang. Sehingga tidaklah mengherankan bila Mitsui Mining juga
terkenal di dunia dengan know how kokasnya. Karena itu, tidak berlebihan
pula bila sebagian masyarakat Jepang menganggap bahwa Mitsui Mining beserta
tambang Miike adalah salah satu penopang keberhasilan modernisasi mereka.
Beberapa hal
di atas hanyalah sebagian kecil dari peranan tambang batubara terhadap
berkembangnya grup Mitsui. Mitsubishi dan Sumitomo juga tidak jauh berbeda.
Berawal dari pengusahaan batubara, divisi pertambangan Mitsubishi sekarang
berkembang menjadi salah satu pemain utama industri pemrosesan mineral,
sedangkan Sumitomo saat ini lebih terfokus pada pertambangan mineral baik di
Jepang maupun di luar negara mereka.
Poin utama
yang penulis ingin sampaikan adalah jangan pernah menganggap kekayaan alam
hanya sebagai barang komoditas belaka yang setelah dieksploitasi dengan
teknologi yang relatif mudah seperti open cut mining terus kemudian
ditinggalkan begitu saja. Tambang dalam memerlukan investasi yang tidak
sedikit, membutuhkan waktu untuk persiapan produksi, serta resiko kerja yang
relatif tinggi. Jepang pastinya menyadari hal ini, tapi dalam waktu yang
bersamaan rupanya mampu melihat nilai strategis dari eksistensi tambang dalam.
Mereka memberikan contoh yang nyata betapa meskipun posisinya berada di bawah
laut, mereka tetap mengusahakan batubara dan memberikan banyak insentif bagi
industri tambang dalam untuk pengembangan teknologi penambangan, keselamatan (safety),
serta pemrosesan batubara, yang efek rantai dari penguasaan teknologi itu
membawa mereka kepada penguasaan teknologi canggih lainnya. Meskipun saat ini
industri tambang batubara di Jepang sudah berakhir, tapi mengingat peranan
batubara dalam industrialisasi di sana, rekan penulis yang orang Jepang sampai
mengatakan: subete ga sekitan kara hajimatta … semuanya bermula dari
batubara.
Mudah –
mudahan tulisan ini dapat menjadi masukan yang berarti bagi banyak pihak yang
peduli dengan kemajuan bangsa.
trims atas infonya
BalasHapuswww.michanarchy.blogspot.com